Bandung Tahun Lalu
"Jadi, nih, jalan-jalannya? Anak-anak pada belum bangun, deh," katanya sembari menyentuh layar HP, berharap ada balasan dari teman-teman pria di asrama lain.
Antara semangat dan kelelahan, kami paksakan raga untuk melangkah keluar asrama putri. Bandung sedang mendung kala itu, menyisakan semburat lembut matari pagi. Masih sangat dingin, ketika kami mandi dan jelas sangat berbeda jika dibandingkan dengan Surabaya. Tak ada kipas yang harus menyala 24 jam di sini, kalaupun ada, mungkin milik mahasiswa yang sedang mencoba membenarkannya. Kami jetlag dengan kenyamanan yang tidak kami rasakan di Surabaya ini.
Sepatu yang basah kuyup akibat hujan di hari sebelumnya, tak menyurutkan langkah kami untuk menyusuri jalanan Bandung. Dimulai dari asrama putri -yang berada 'pedalaman'- menuju asrama pria -di dekat jalan masuk gang-. Sudah ada tiga pria yang menunggu kami di sana dengan kaos oblong mereka dan muka-muka kelaparan. Jalanan yang tak sepadat Surabaya menjadi pemikiran pertama saya ketika angkot yang membawa kami mulai memasuki jalanan besar.
Dalam imaji saya, Kota Bandung memang semacam bunga tidur yang indah jika dapat berlibur di sana. Desas desus yang mengatakan, baik pria ataupun wanita, memiliki paras yang rupawan, rasanya saya akui dengan segenap hati. Memang tidak semuanya. Jika pandangan 'paras rupawan' kita relatif sama, mungkin kamu pun akan memiliki pendapat yang sama dengan saya. Haha. Dan di sanalah saya, mencoba membenarkan isu tersebut dengan mata sedikit malu-tapi mau- melirik pada muda mudi yang mulai beraktivitas.
Imaji saya lainnya mengatakan bahwa Bandung, entah bagaimana, alamnya memiliki panorama yang bak sayang sekali dilewatkan barang sekedipan mata. Histori yang berada di beberapa sudut kota atau cuaca yang mendukung, namun tak bergelayut awan gelap. Pernah pula saya mengimpikan untuk menetap sementara di kota ini.
Sebagian besar imaji saya, benar adanya. Hanya, mungkin kesesalan saya pada Bandung, adalah cuaca yang selalu terhiasi awan gelap. Saya takut gelap dan tanpa alasan pula, saya jadi merasa hidup di dunia 'hitam' ketika Bandung mulai hujan -__-"
Untunglah, semesta sedang sedikit bersahabat pada kami berenam kala itu. Membiarkan kami untuk mengunjungi beberapa tempat sebagai tanda bahwa kami pernah berada di Bandung. Sepanjang perjalanan, saya tak hentinya mengagumi bagaimana Bandung di tata dengan apik, versi saya.
Alun-alun berumput sintesis yang sangat besar dan memungkinkan masyarakat untuk berolahraga, masjid yang berada di dalam area, dan beberapa sitje yang berbaris rapi. Alasan yang baik untuk berlama diri di tempat ini.
Alun-Alun Kota Bandung |
Masjid Raya Bandung |
Barisan Kursi Merah Berbaris Keheningan |
Penjual Balon di Lantai Bawah |
Perjalanan berlanjut ke Jalan Braga, dekat lokasi Konferensi Asia Afrika (KAA), yang karena itu pulalah terdapat beberapa tempat yang mengabadikan kegiatan tersebut. KAA sendiri berlangsung pada tanggal 18 April-24 April 1955 di Gedung Merdeka. KAA bertujuan untuk mempromosikan kerjasama ekonomi dan kebudayaan Asia-Afrika, serta melawan kolonialisme atau neokolonialisme Amerika Serikat, Uni Soviet, atau negara imperialis lainnya.(wikipedia)
Seingat saya, langkah kami pertama kali adalah ke Monumen Solidaritas Asia Afrika (diresmikan pada tanggal 24 April 2015) dan barulah mengunjungi lokasi lain di sekitarnya. Sepanjang trotoar di Jalan Braga, terlihat jejeran bola-bola semen yang bertuliskan negara peserta KAA. Konsep yang dapat dijumpai pula pada hiasan Kota Surabaya, namun tentu saja tanpa nama negara. Menoleh ke atas, tampak lampu jalan berdesain etnik dengan ujung hiasan berbentuk hewan, semacam harimau. Masih mendung, memang, membuat kami antara berbetah diri ataupun bersegara diri agar terlindung dari rintikan hujan.
Monumen Solidaritas Asia Afrika |
Batuan Semen di Satu Pojok Jalan Braga |
Lampu Etnik Penghias Kota |
Dan hujan siang itu menjadi penanda kami untuk segera kembali pulang ke penginapan Asrama Bumi Ganesha. Tempat pertemuan dan perpisahan bersama kawan lama saya terjadi. Mengisi perut setelah penundaan makan pagi yang cukup lama dan segera bergegas mengejar transportasi menuju stasiun kereta api. Membawa kami menuju perantauan kami yang sebenar-benarnya. Surabaya. Kota pahlawan yang panas, namun nostalgia indah tak pernah menjemukan. Sampai bertemu lagi, Bandung :)
Surabaya,
Mengingat kembali perjalanan ke Bandung, 9 November 2015
2 Comments
Aku belum pernah ke bandung, dari dulu penasaran mau kesana tapi gak jadi mulu :')
BalasHapusWew, ayo lah ke Bandung, mojangnya geulis geulis :9 ((cowoknya juga keren. haha))
HapusTerimakasih atas kunjungan dan segala apresiasinya. Silakan tinggalkan pesan di kolom komentar jika memang ada yang perlu didiskusikan ^ ^
Jika memerlukan informasi urgent, boleh sapa saya di email karena saya cukup aktif pula di sana :).