Istirahat Sejenak
Mendung di suatu sore, aku sedang duduk di ruang kerjaku yang sepi. Hanya ada beberapa karyawan yang sedari tadi seliweran, hendak membersihkan sisa-sisa kertas, dan berharap satu dua di antaranya adalah selembar uang yang terjatuh, tak bertuan. Karyawan wanita itu menoleh sejenak padaku, tersenyum dan kembali bekerja. Hisapan rokoh pertama berteman lukisan sayu tak bersapa.
Aku masih malas untuk segera pulang ke apartemen. Bukan karena aku enggan bertemu dengan calon mertuaku yang datang tadi siang atau aku malas mencicipi masakan Jeck, tetangga baruku, yang baru pindah kemarin. Aku hanya malas pulang. Berdiam diri dengan kesejukan hujan Surabaya berpadu asap dan raungan kendaraan yang terlihat dari jendela kantorku. Surabaya sibuk mencari uang hidup.
Berkas kerjaan tadi siang yang tertumpuk rapi di mejaku, menjadi satu-satunya penyebab kemalasanku. Sedikit jengah melihat tanda tangan berstempel yang tertera di salah satu kertas itu. Banyak gengsi yang harus aku tahan dengan ketenangan. Aku hanyalah mahasiswa yang sedang magang dan tak berani kuungkap protes.
Siang tadi, wanita yang kuinisialkan Ms. X memanggilku dengan suaranya yang serak parau. Sudah barang tentu ini panggilan yang menakutkan karena dia adalah salah satu senior kami. Indah lekuk tubuhnya, tak membuatnya memikatku yang seringkali tertipu rayuan gadis ayu. Dia berbeda dan aku sama sekali tak tertarik padanya. Oke, fine.
Ms. X memberiku berkas yang mungkin jika kuukur ketebalannya mencapai 10 cm. Setebal kamus, tapi berisikan kertas-kertas tak berbendel. Berserakan dengan aturan yang kuanggap sangat berantakan. Tak terdokumen dengan rapi, pikirku.
Aku langsung membawa berkas itu ke ruang kerjaku. Merapikannya sebelum aku menyerahkan pada yang empunya berkas. Selembar dua lembar, aku menumpuknya di samping gelas kopiku yang berisi setengah. Lembar kesekian, aku tercekat. Ada nama yang sangat kukenal di sana. Yang membuatku malas pulang kini.
Imanuel Juan. Pria yang beberapa bulan lalu kukenal sangat baik dalam ikatan pertemanan pria sejati. Masih ingat jelas bagaimana ia memanggilku ‘Joy’ dengan semangatnya yang menggebu. Berulang kali kukatakan bahwa ‘Joy’ bukan namaku, tapi berulang kali pula ia menjelaskan bahwa ‘Joy’ adalah yang menyerupa aku di kehidupannya dulu. Ah, mungkin adik lelakinya yang telah meninggal atau siapapun itu, yang jelas, aku tahu bahwa aku dulu dianggap berarti olehnya.
Seringkali aku dan Ijonk, begitu kami biasa menyapanya, menghabiskan waktu bersama di warung kopi. Dari harga termurah, hingga termahal, kami tahu. Tanyakan pada kami kedai kopi mana yang ingin kamu kunjungi, harga berapa yang kamu inginkan, dan bagaimana nuansa yang ingin kamu rasakan. Kami akan sangat cepat memberimu rekomendasi. Kami penjelajah kedai kopi. Penikmat sensasi malam dan keindahan tekstur kopi dalam setiap tegukannya.
“Kamu sahabat baikku, Joy,” katanya dulu sambil menyulutkan rokokku, pada suatu malam.
Ijonk yang dulu adalah teman baikku, kini tidak lagi. Tanpanya, aku akan merasa ada yang kurang. Tak peduli bagaimana kondisi keuangan kami, asal kami bersama, kami akan merasa tenang. Kopi secangkir berdua pun, pernah kami nikmati. Tapi, jangan sesekali menyalahkan kebiasaan rokok kami sebagai penyebabnya. Itu hanya akan lewat telinga kanan dan keluar telinga kiri kami. Haha.
Semuanya berubah semenjak Ijonk mulai menyibukkan dirinya dengan kegiatan yang seringkali dia tutupi dariku. Tanpa bermaksud mencampuri urusannya, terkadang aku membelikannya secangkir kopi, walaupun aku tahu ia akan meminumnya ketika telah mendingin. Aku mulai menjauhinya, berkata pada diriku bahwa kedekatanku hanya akan mengganggu hidupnya. Ini berlangsung sekitar beberapa bulan kebersamaan kami.
Aku mulai gerah menjadi bayang-bayang dari Ijonk. Tanpa sadar, aku menjadi setiap pelarian orang-orang yang mencarinya. Mengatakan bahwa aku adalah teman dekatnya dan mereka mulai mendekatiku. Mungkin terlihat biasa bagi mereka, tapi tidak bagiku. Seakan aku hanyalah pelengkap ketidakhadirannya ketika mereka benar-benar membutuhkannya.
“Kamu baik, Joy. Aku berterimakasih padamu.”
Aku seakan sedikit muak dengan ucapannya itu pada suatu sore, di kedai kopi dekat kampus kami. Aku tertahan dengan perasaan canggung, terselimuti oleh senyum kebohongan yang kuciptakan untuk tidak merusak suasana. Pun dia tidak menyadari telah menjadi sosok yang terus membuatku menjadi bayangannya, aku baik-baik saja.
***
Rokok di sore ini telah habis tersulut. Perasaan marahku kembali memuncak, kembali tidak menerima keadaan bahwa dia memang menjadi pembandingku di beberapa bidang. Dan untuk semua kebaikannya, adalah yang mereka seringkali rasakan. Dia pintar sekali bertopeng, bahkan untuk saat ini.
Bahkan untuk saat ini. Ketika berkas kematianmu sampai di tanganku. Masih ingin memakai topengmu, Jonk? Masih ingin berkata bahwa kamu tidak apa-apa? Jujurlah.
Bahkan untuk saat ini. Kamu tidak bisa menjawabku dengan jujur. Rest in there.
source pic :
http://media-cache-ec0.pinimg.com/736x/89/e6/f/89e6faaf8d91af5704b7ee79d9f42b51.jpg
8 Comments
ceritanya bagus :)
BalasHapusThanks, dude :)
HapusKeren dah
BalasHapusWah, terima kasih, kang :)
Hapuskisah ijonk dan joy yang menarik....selamat lebaran..mohon maaf lahir batin,
BalasHapuskeep happy blogging always..salam dari Makassar :-)
Terima kasih, mas :D
HapusMohon maaf lahir batin.. Nice story.. Mbak.. Hhiihii
BalasHapusMohon maaf lahir batin juga mbak. ;D
HapusTerimakasih atas kunjungan dan segala apresiasinya. Silakan tinggalkan pesan di kolom komentar jika memang ada yang perlu didiskusikan ^ ^
Jika memerlukan informasi urgent, boleh sapa saya di email karena saya cukup aktif pula di sana :).