Keputusan : Sedikit Kisah Rintara Jatim 2016

By Jumat, Juli 28, 2017 , , ,

Tak pernah kubayangkan tentang bagaimana aku bertemu dengan kalian. Bercengkerama tentang banyak hal. Belajar dari pribadi yang mengagumkan. Tentang garis wajah yang kuingat ketika tersenyum. Tentang kisah yang tanpa sengaja bergulir. Dan tentang arti perpisahan dalam makna sesungguhnya.

Ekspedisi Nusantara Jaya Perintis Jatim adalah saudara tanpa harus ada ikatan darah. Bagaimana pengalaman singkat ini bergerak bagaikan roller coaster. Cepat, namun menyenangkan. Begitu pula dengan pertemuanku dengan kalian.
Semuanya berawal dan berakhir di sini. Keputusan.

Keputusan : Sedikit Kisah Rintara Jatim 2016
Doc. Rintara Jatim 2016

***

Suatu Hari, Suatu Waktu: Nahkoda.

Aku tidak mengingat tanggal pasti kapan pengumuman pendaftaran itu. Ah, ya, ikut saja. Kesempatan terakhir berpetualang dan mengabdi sebelum berkarir kelak. Batinku membayangkan kemungkinan lain bahwa perijinan orang tua akan memerlukan perjuangan yang tak mudah pula. Namun, di situlah aku, bertaruh dengan essay tentang kemaritiman, yang sama sekali tak kukuasai. Yang kuyakini, aku hanya dapat berusaha menulis dengan sebaiknya-baiknya versi diri.

Pendaftaran Ekspedisi Nusantara Jaya (ENJ) 2016 pun kubuka dengan berkerut dahi. Membaca dengan seksama apa-apa kiranya penilaian yang dicari. Menulis essay bertema “Pilar pembangunan maritim”. Semacam bagaimana kamu harus mengenalkan alphabet pada seorang anak SD. Berujung pertanyaan bagaimana harus memulai menuliskannya. Pikiran ini mulai tak bertuan, mulai bingung harus ke mana arahnya menuliskan tema ‘asing’ itu.

“Lagi nulis apaan?” tanya seseorang yang aku lupa persis gerangan.

“Entahlah. Bagaimana harus kuulas perihal maritim dengan bidang telekomunikasi ini, ya?”

“Hem, tentang tugas akhirnya Makarim? Sepertinya berkesinambungan.”

“Ah, ya. Bisa kamu jelasin singkat?”

“Jadi, begini…”

Pembicaraan berlanjut pada ketidakmengertian yang mulai terbuka perlahan. Tapi, bukan begitu aku harus mengulasnya dalam tulisan. Menerangkan bagaimana penelitian orang dan menghubungkannya dengan tema, sedikit susah juga. Mana yang harus kutulis, mana yang harus ‘kubuang’.

Hingga malam, sepertinya ide tentang tulisan tak kunjung kutemukan. Dia, yang ternama dengan baik di ponselku, tak pelaknya mengubah bagaimana alur pemikiranku seketika. Pernah, kan, kamu mengalami pula, bagaimana sapaan ‘Hai, apa kabar?’ dapat berubah menjadi penyemangat? Sepertinya, itulah yang terjadi padaku malam itu.

Hai, apa kabar?

Dan tulisan tentang pendidikan pesisir dengan pemahaman paling dasar untuk menanamkan anak-anak pesisir agar tetap sekolah, menjadi primadona baru dalam satu kedipan. Kutuangkan sedikit tentang kisah Ira, gadis kecil yang kutemui di Pulau Bolu-Bolu, Malang, setahun lalu. Bagaimana pemikirannya yang ‘hanya’ seluas pulau kecil itu. Ira, yang hanya tahu bahwa cita-citanya adalah penyanyi dangdut.

Kuhubungkan dengan konsep pemerintah untuk membangun pendidikan pesisir. Kuhubungkan pula dengan pengaruhnya pendidikan tinggi bagi pemuda pesisir. Bagaimana mereka akan memajukan masyarakat pesisir dengan keilmuannya. Bagaimana mereka nantinya akan memotivasi yang lainnya untuk terus berkarya dan bermimpi besar.

Ira dan kamu, yang tetiba membisikkanku tentang harus kumulai dari mana pemikiran sederhana ini kutulis. Sesederhana mengagumimu dalam setiap deret kata dan ilustrasi buatanku. Terima kasih, Nahkoda.

***

11 Agustus 2016: Karet, Ah, Ya, Syukurlah.

Kehidupanku sebagai mahasiswa akhir di kampus teknik, tak bedanya dengan mahasiswa lain. Dalam kondisi on fire berjuang untuk kelulusan yang sudah di depan mata. Kelulusan, bagiku ‘hanyalah’ moment, bukan yang terbesar. Kehidupan setelah kelulusan sudah pasti lebih berat, Roger! Ya, memang benar. Jadi, berhentilah menangis menjerit-jerit dengan tumpukan lemak perutmu, ada yang harus dipikirkan lebih dari itu.

“Jadi ikut yang kemarin kamu kabarin?”

“Jadi, kamu?”

“Tidak. Sebenarnya, aku ingin ikut, tapi aku tak sempat membuat essay-nya.”

“Hem, ya, aku makmum. Orang bekerja, pasti lebih sibuk, ya.”

“Ya, begitulah.”

Pesan kami tak pernah berlangsung lama. Seolah hanya simbolis bahwa pertemanan, terkadang dibuktikan dengan tanya kabar melalui tatap layar. Kecut. Kamu tahu, arti dari ‘tak sempat’ dan ‘memang tak menyempatkan’ itu beda tipis. Aku tak tahu kamu yang mana, tapi aku memang sedang tak ingin berdebat denganmu.

Perihal penguman ENJ 2016, aku sudah mulai melupakannya. Pengumuman mulai mengaret, tak sesuai rencana awal. Mungkin terlalu banyak pendaftar dan lebih dari ekspektasi panitia. Sejauh ini, prasangkaku masih itu. Pasalnya, memang pendaftar terbilang lebih banyak dari tahun sebelumnya.

Aku mendaftar di koridor Jawa Timur, setelahnya, kami menyebunya ENJ Perintis Jatim. Dari info di laman websitenya, terdapat sekitar 1100 lebih calon peserta yang mendaftar dan akan disaring sekitar 25 peserta. Terlalu banyak yang dipangkas.

Khayalanku sudah mulai tinggi. Berangkat dari Tanjung Perak, Surabaya, menuju Pulau Masalembu, Masa Kambing, dan Keramaian. Terdengar indah bayangan itu. Bertemu dengan mereka, para warga pesisir. Bercengkarama tetang alam, berfoto dengan beberapa lumba-lumba dalam perjalanan, dan menikmati riuhnya ombak berkalung senja.

“Hei, aku lolos!”

Pesanku seketika saat malam menjelang pagi, pengumuman tahap 1 tertera dalam laman resmi enj2016.info. Sudah pasti, kamu yang kukabari pertama kali. Seperti sebelum-sebelumnya. Aku membaca satu persatu peserta yang lolos seleksi tahap awal ini. Aku memang dalam posisi cadangan, tapi tak mengapa, aku cukup beryukur dengannya.

Faqih? Ini anak kenapa edan tenan, sih, ada di mana-mana namanya. Tersentak melihat nama yang familiar dan sering berkeliaran di beranda jejaring Facebook. Abdullah Faqih. Pria yang kutemui di kegiatan Nuclear Youth Summit tahun lalu. Pria kocak, yang jan kuonyol dalam kesan pertama.
Jadi, karet karet apa yang bikin hati berdebar-debar? Pengumuman karet, eh ternyata lolos. Nyambung, ndak, tebakannya? Doamat, deh, ya. Haha.

***

19 Agustus 2016: Surabaya, Probolinggo, dan Kebaikan.

Apa yang lebih sempurna dari hidup seorang anak dengan restu kedua orang tua? Begitulah. Kiranya, ini tak hanya prinsip hidupku saja. Bisa jadi, prinsip dari hampir 250 juta penduduk Indonesia yang ‘beranak pinak’.

Mulai ragu dengan perijinan melaut dan tujuan yang katanya ‘Tiga Pemuda’-nya Indonesia. Yang katanya ombak sangat tinggi. Yang katanya malaria merebak luas. Yang katanya sangat angker. Yang katanya bagai pulau tak berpenghuni. Dan ‘yang katanya yang katanya’ lainnya yang membuat merinding.

Rabu, 17 Agustus 2016, bertepatan dengan hari libur nasional, Rumah Sakit Haji menjadi tujuan utamaku untuk menanyakan tentang surat keterangan bebas narkoba (SKBN) dan surat sehat. Dua surat yang harus kupenuhi pasca pengumuman tahap 1. Ditambah surat pernyataan keikutsertaan, lengkaplah sudah persyaratan berkas untuk tahap selanjutnya.

Penjelasan dari pegawai rumah sakit membuat saya patah hati. Terlalu mahal untukku karena mencapai bilangan lebih dari setengah juta untuk dua surat –yang belum pasti kelulusannya–. Mulai kutanyakan pada kawan sedaerah tentang case lain, jika ada yang lebih murah. Gotcha!

Kamis, 18 Agustus 2016. Bumi dan langit terlalu jauh, tapi tidak dengan Surabaya dan Probolinggo. Jarak yang harus ditempuh tiga jam tak terlalu lama untuk mendapatkan kelengkapan pendaftaran. Sekaligus, aku harus bertaruh jika keputusan orang tua adalah ‘tetaplah di rumah, Nak’.

Sepanjang perjalanan, mulai kurangkai kalimat terbaik bagaimana aku harus mengambil hati mereka. Perjalanan ternikmat adalah ketika alam berselimut mesrah dengan ijin ikhlas orang tua. Aku sudah membayangkan bahwa akan terjadi percikan kecil antara keinginan hati dan ridho mereka. Sudah beberapa kali kualami hal ini, sudah beberapa kali pula tak kuindahkan ridho mereka, dan berujung penyesalan. Aku tak ingin lagi begitu.

“Ya, Nduk, kamu, pergilah. Ayah dan Mama ridho, kamu bisa melihat dunia luar.”

Kata mereka, menutup malam itu dengan syahdu dan ijin untuk mengurusi kelengkapan di esok hari. Hari yang beruntung. Aku tahu bagaimana khawatirnya mereka memberi ijin pada putri semata wayangnya ini. Aku sedikit tahu bagaimana perasaannya. Namun, senyum dan ridho mereka adalah candu. Selalu ingin kembali kutemui ketika pulang. Terima kasih.

Jumat, 19 Agustus 2016, adalah hari terakhir pengumpulan berkas untuk seleksi tahap 2. Di hari itu pula aku mengurus segala berkas yang dibutuhkan. Selesai sehari, tidak tergesa, dan dengan harga terjangkau. Bersyukurnya.

Hari Jum’at barokah itu berlangsung dengan cepat. Bergegas kukirimkan berkas, bergegas pula kulayangkan doa pengharapan untuk hasil selanjutnya. Tiga hari yang kurasakan langkahku bergerak ringan. Pertolongan Tuhan di segala hal. Ya, Tuhan memang tidak pernah tidur.

***

26 Agustus 2016: Tahap 2, Pengumuman dan Imaji Semesta.

Publikasi pengumuman kembali mengaret seperti pengumuman tahap 1. Tapi, tak mengapa. Aku tak berhak men-judge hal yang tak kuketahui. Apakah panitia mengalami kesulitan. Ataukah peserta yang ternyata terlalu berkelas dan menyulitkan seleksi. Ataukah ada beberapa kebijakan yang perlu diputuskan sebelum publikasi. Entahlah. Aku masih menunggu.

“Mas Drik, maaf via pm (private message), mas.”

“Oh, iya, Mbak. Ada apa?”

“Kemarin jadi kirim berkas kah, Mas?”

“Jadi, Mbak. Ya, tapi berdoa aja, sih, ya. Kita ‘kan posisi cadangan.”

“Hehe. Iya, Mas.”

“Di Instagram udah pada ribut. Peserta cadangan ada yang kirim ada yang egak, sepertinya.”

“Iya, kah, Mas? Wah, saya gak ada Instagram, jadi gak ngikutin. Hehe.”

Percakapanku dan peserta lain yang bernasib sama, beberapa hari lalu. Setelah pengumuman tahap 1, aku memang mencari kawan untuk bertukar informasi. Sebenarnya, kami berdua tidak saling mengetahui masing-masing. Hanya bermodal tatap layar di grup jejaring sosial. Kami bedua pun tak tahu persisnya apakah peserta cadangan diharuskan mengirimkan berkas atau tidak. Biarlah semesta menyeleksi selanjutnya.

Hari yang ditunggu pun tiba. Berhati-hati kuijinkan telunjukku menyusuri file pengumuman dengan perlahan. Jangan terburu, Sayang, sentuh dengan santai, terimalah keputusan dengan bijak. Perintis Jawa Tengah, nama familiar lagi yang kutemukan sebelumnya. Ah, dia lolos.

Perintis Jawa Timur kubaca nomor pernomor. Mencari kemungkinan terkecil namaku tercantum di sana. Dan, Ya Tuhan, nikmat mana lagi yang mampu kudustakan dari-Mu? Hari-hari berikutnya, hanya imaji berbalut senyuman dan keinginan untuk segera berangkat yang menggelayut setia di pikiranku. Bertemu dengan pribadi baru, pengalaman baru, dan semesta baru dalam bumi yang kupijak.

Kamu, seharusnya kamu menyempatkan untuk mendaftar kala itu. Aku menginginkan perjalanan ini menjadi hal yang tak terlupakan untuk kita. Sebelum jarak menjadi kerabat yang menemani dalam tiap harinya. Sebelum sapaan konyol tak lagi ditemui setiap minggunya. Sebelum kamu tahu bagaimana aku memang memiliki alasan mengapa kuberitahu kamu tentang pendaftaran perjalanan ini. Sayangnya, tidak sempat, bukan?

***

Awal September: Pertemuan dan “Hei, salam kenal!”

Peserta yang diumumkan lolos, rupanya telah membuat grup line. Sekedar bertegur sapa dan mencairkan situasi. Aku termasuk dalam kategori terlambat bergabung di grup itu. Tapi, mereka hangat. Tatap layar itu tak ubahnya tatap muka yang sebenarnya. Haha hihi yang berujung pertemuan-pertemuan selanjutnya.

“Putria, ya?”

“Happy?”

“Iya. Yang lainnya belum pada dateng, ya?”

“Belum, nih. Eh, sorry, aku makan dulu, ya, laper, nih.”

Sapaan pertama yang kudapatkan dari salah satu peserta. Putria, yang selanjutnya kupanggil Utek. Pertemuan pertama itu dilakukan di Deles, Surabaya, 2 September 2016. Hanya tim Surabaya, tentunya, yang hadir. Oh, ada yang lupa kuinfokan. Tim Perintis Jatim memang dibagi menjadi dua tim: Surabaya dan Malang. Bukan domisili sebenarnya, hanya pembagian meet point karena mayoritas peserta berada di dua kota tersebut.

Saat paragraf ini kutulis, rumah sedang mati lampu dan baterai laptop benar-benar meraung ingin segera bertemu kekasihnya. Orang tua di kamar, berdiskusi sesuatu yang tak kuketahui. Aku, tentu saja, tiduran di ruang keluarga dengan sebatang lilin dan alunan ringan dari permainan Brent Kutzle. Lehugha sekali, bukan.

Tentang pertemuan pertama itu, hingga malam menjelang, ada aku, Utek, Muyasaroh (yang selanjutnya kupanggil mimimuy), Dek Ayyub, dan Mas Riyan. Sejujurnya, mereka memiliki pemikiran dan semangat yang hebat. Aku merasa menciut, hanya seublik lampu sein di ketinggian gedung.

Utek dan mimimuy adalah pribadi yang semangat. Mereka berasal dari almamater yang sama dan rupanya berteman pula. Pemikiran mereka, terkadang membuatku ‘wah, oh iya, wah, oh iya’. Aku banyak belajar dari mereka. Tentang bagaimana mengutarakan suatu maksud dengan terarah dan bijak. Hal yang terus ingin kupelajari.

Dek Ayyub, yang baru kutahu bahwa kami se-almamater. Dia adalah anggota tim robot, yang tentu memiliki pengalaman yang tak kalah hebatnya dengan dua lainnya. Sedangkan, mas Riyan, tanpa alasan yang jelas, aku suka hidung dan senyumnya. Perpaduan yang manis dalam garis wajahnya. Dan pemikirannya, ah, aku lupa, yang jelas, hidungnya bagus!

Pertemuanku dengan mereka, tak hanya berlangsung dalam semalam. Kami beberapa kali bertemu untuk berdiskusi, mengumpulkan donasi, dan berjualan. Setidaknya, dua kali moment jualan yang kuikuti: ITATS dan pasar Jum’at di ITS. Dua moment yang mempertemukanku dengan pribadi baru lainnya.

Ya, aku kembali bertemu dengan peserta lainnya. Natya, Mbak Anifah, Ujang, dan Mbak Bella. Natya, kukira adalah setingkat di atasku dan kabarnya, dia adalah putri semata wayang pula. Bedanya, dia penyelam dan benar-benar orang laut. Sedangkan aku, penikmat pantai yang tak dapat berenang. Oke, lupakan.

Mbak Anifah yang selanjutnya kami panggil Mbak Ipeh dan akhirnya baru kuketahui bahwa dia senang pula bersajak. Hits dan pemilik brand batik Indonesia. Ujang dan Mbak Bella, kukenal secara sekilas. Kami tak terlalu banyak bercengkerama. Namun, mereka tak kalah pula kerennya.

Well, mereka memang keren dalam bidangnya masing-masing. Jadi, kamu harus tahu, kamu pun begitu. Tak harus memaksakan menjadi individu lain. Kamu adalah pribadi terbaikmu yang kukagumi dari sisi berbeda.

***

Tengah September: Keputusan dan Pertemuan.

Aku sedang di posisi mencari pekerjaan, ketika pertemuan dan diskusi sedang hangat-hangatnya menjadi pembicaraan kami setiap harinya. Keputusan yang harus kubuat ketika pengumuman tes online di suatu lembaga negara berlangsung bertepatan dengan keberangkatan. Aku memutuskan dengan matang tentang prioritas hidupku. Dan aku memang harus memilih.

“Aku gak lanjut, Ri.”

Kataku pada salah satu peserta lain yang belum pernah kutemui sebelumnya. Namun, kami sudah cukup akrab membicarakan beberapa hal. Ria, yang sekarang lebih sering kupanggil Cece karena mirip Chinese. Haha.

Wanita yang berhijrah dan kuketahui sedikit tentang hidupnya. Keputusan itu, seingatku, pertama kali kukatakan pada ketua, selanjutnya kukatakan pada Cece. Dan kami mulai membicarakan lain hal. Aku tak sabar bertemu dengannya dan membuktikan tentang egoisnya pikiranku mendeskripsikan bagaimana dirinya di dunia nyata.

“Heee, kok lama, hee.”

Logat yang kukenali pertama kali ketika Cece mengirimkan voice note pada suatu malam. Pertemuan kami pertama kalinya terjadi di beberapa malam sebelum keberangkatan tim Perintis Jatim. Di sebuah penginapan sekitar ITS. Di halaman yang luas dan dengan sambutan hangat, dia menyapaku.

Kami layaknya telah bertem sapa dalam dunia nyata. Dia memang merupa yang kudeskripsikan. Banyak yang meleset, namun tak mengecewakan dan bernilai lebih dari sekedar deskripsi kata. Kami melewatkan malam itu dengan berbagi cerita. Aku menceritakan tentang kisahku dan dia membayarnya dengan kisahnya. Kami sedang berjual beli kisah masing-masing. Eh, egak, dink, bercanda.

“Aku malu ketemu anak-anak.”

Aku mengatakannya di malam itu, ketika dia mengajakku masuk penginapan. Hari-hari sebelumnya, aku memang tak sungkan bercanda dalam grup. Terlebih dengan beberapa kawan perempuan yang seumur. Namun, keputusan pengunduran diri dari kegiatan ini, membuatku sedikit membatasi diri. Sekedar hanya ingin menghibur bahwa akan ada kesempatan lain yang inshaAllah lebih baik.

Pertemuanku dengan beberapa yang lain di malam itu, bukanlah pertemuan pertama kalinya. Beberapa lainnya, baru kali ini bertatap muka. Seperti Bagus, mentor kami, dan mbak Samantha. Bagus, yang hari-hari sebelumnya pernah kubicarakan dengan Cece adalah mentor yang baik. Mampu menggiring kami tanpa menggurui. Sedangkan mbak Sam, aku kurang pula mengenalnya, selain keramahannya.

Di malam itu, terdapat dua titik pertemuan, ruang makan dan ruang tamu. Aku dan Cece, tak ubahnya kawan yang hendak bergosip karena sudah lama tak bertemu. Lainnya, berada di ruang makan, membicarakan bagaimana pengimplementasian kegiatan. Aku, tak perlu menimbrung. Aku, hanya ingin bertemu mereka.

Tiga empat orang datang beberapa saat, ketika aku dan beberapa kawan sedang bersantai. Dua tiga orang, baru kutahu namanya. Satu lagi, sudah sangat pasti adalah seorang Fajri, ketua kami. Pria, yang kukira keturunan Pakistan. Beberapa kali kusempatkan untuk zoom, sesaat setelah dia berganti foto profil, beberapa kali pula kuyakini bahwa garis wajahnya bak keturunan orang Arab.

Maaf, lebih dari ini, aku memang belum mengenal kalian. Mungkin, tambah lagi beberapa yang kukenal sepintas. Mbak Ratna dan Nike. Mereka yang hangat pula ketika kutemui di dunia maya dan nyata. Sepintas penilaianku, mereka adalah sosok yang ramai. Ditambah lagi, Ihwanus, yang baru kuketahui ternyata berkawan pula dengan kawan TK-SD-SMP-SMA-ku, Ridha.

***

Bulan Tanpa Nama: Perpisahan.

Hari setelah pertemuan di penginapan beberapa hari lalu, kami masih sering bertukar kabar via grup line. Menghabiskan hari dengan candaan dan beberapa lainnya ‘say hi’ singkat. Aku masih belum mengenal yang lainnya, sama seperti dulu. Jika pun bertambah, tak lebih dari sekedar perkenalan singkat yang terjadi ketika pertemuan mereka pasca pulang dari ekspedisi.

Ya, sepulang dari ekspedisi, mereka tak langsung kembali pulang ke daerah masing-masing. Berkumpul lagi dengan setumpuk pertanggungjawaban yang harus segera diusaikan. Aku, tak banyak membantu. Hanya sebungkus masker bubuk yang kubawa dan beberapa snack sebagai tenaga cadangan.

Ini adalah hari kedua aku menuliskan catatan perjalanan ini. Sambil kuingat-ingat, bagaimana bahagianya aku bersama mereka dalam satu malam itu. Melihat mereka bercanda, bergegegas mengetik, bercengkerama, dan lainnya tertawa lepas. Itu, malam pertamaku berkenalan dengan Dek Zahwa, partnerku di kesekretariatan, awalnya. Haha.

Hari berlalu dengan sejengkal kisah yang masih dapat kurasakan dengan nyata. Bagaimana pertemuan pertama dan pengalaman setelahnya. Kabar di Kamis, 17 November 2016 lalu, tiba-tiba menghantam kami. Tentang kepergian dek Bagus, mentor kami yang masih sangat muda. Aku setengah tak percaya dengan itu. Mungkin, karena itu pula aku sempat memimpikannya bahwa dia baik-baik saja, sebenarnya.

Aku tak dapat mendeskripsikan banyak hal tentangnya. Tak terlalu mengenalnya, lebih dari kesan pertama. Hanya, dia memang bak adik kecil di tengah kawan-kawan. Adik kecil yang berjiwa pemimpin. Yang selalu identik dengan panggilan khasnya ketika menyapa kami ‘Hai, Gengs!’. Perpisahan dalam arti sebenarnya, yang tak mampu dinalar kemana gerangan jiwanya pergi setelah itu. Kamu, mengingatkan kami tentang arti jatah hidup yang harus dihabiskan dengan kebaikan. Semoga kembali dalam keadaan putih, dek.

Ekspedisi Nusantara Jaya 2016 Perintis Jatim, terima kasih untuk perkenalan ini. Untuk segala kisah yang tak dapat kutuliskan secara detail. Jika Tuhan tak tunjukkan pengumuman pendaftaran itu, mungkin aku tak akan bertemu dengan kalian. Jika Tuhan tak ijinkan aku lolos seleksi administrasi tes kerja, mungkin aku akan merasakan perjalanan yang sama. Ya, semuanya kembali pada prioritas. Pada apa-apa yang diimpikan. Semua akan kembali pada sebuah keputusan.

Probolinggo, 1 Desember 2016.

Rintara Jatim 2016
Rintara Jatim 2016

***

Pst, kisah ini sebenarnya akan dibukukan bersama rekan-rekan Rintara Jatim (Ekspedisi Nusantara Jaya Perintis Jawa Timur). Namun, sayang disayang, karena beberapa hal, urung dibukukan bersama. For your information, saya bersyukur bertemu dengan mereka, yang kekeluargaannya masyaAllah sampai sekarang tetap terjaga. Ini saya posted karena saya tak ingin kisah mereka hilang :))

You Might Also Like

4 Comments

  1. Fibiiii, aku baru baca postingan ini! Huaaaahh aku ikutan gundah galau gulana juga, tapi kemudian jadi sedih pas tau kamu nggak jadi berangkat. Yaaa namanya juga prioritas, next time kalo ada program semacam ini lagi kamu harus ikutaaann, aku mendoakanmu :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, mbak :( Di umur tua gini, priority is number one kayaknya huhu. Makasih doanya, mbak ^ ^ Semoga doa baiknya balik ke mbak :3

      Hapus
  2. Mbake... Makasih sudah menuliskannya,,, makasih sudah menghidupkan kesan itu kembali, MasyaAllah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo, dengan Mbak "Selamat Pagi". Thanks for visiting and remembering haha. :) Semoga selalu dijaga kenangannya ya ^ ^

      Hapus

Terimakasih atas kunjungan dan segala apresiasinya. Silakan tinggalkan pesan di kolom komentar jika memang ada yang perlu didiskusikan ^ ^

Jika memerlukan informasi urgent, boleh sapa saya di email karena saya cukup aktif pula di sana :).

Disclaimer

Blog ini tidak merepresentasikan instansi tempat dimana penulis mengabdi, karena mayoritas konten adalah hasil kolaborasi dengan manusia-manusia baik hati :). Penulis tidak bertanggungjawab jika terdapat tulisan mengatasnamakan penulis (alias copas) di luar blog ini dan ini.
Blogger Perempuan