Kopi hari ini, rasanya, tak seenak saat aku meminumnya dulu bersamamu. Jujur, perpisahan kita masih saja kukenang hingga kini. Walaupun aku tahu bahwa sudah tak ada lagi namaku di hatimu.

Aku memang tak pernah menyesal perihal perpisahan itu. Sungguh. Jika kamu anggap aku masih mengharapkanmu, jujur, sudah tidak lagi. Memang, aku sudah tidak lagi memiliki rasa spesial untukmu dan kuyakin, kamu pun begitu. Setidaknya, perpisahan kita tidak membuat kita saling menjelek-jelekkan di situs jejaring sosial, bukan? Karena, setahuku, kamu dapat berpikir bijak dan dewasa dalam menanggapi segala masalah. Semoga aku tak salah.


Aku mengenang meninggalnya persahabatan kita. Persahabatan yang telah kita bangun lebih dari 3 tahun. Jika kamu tak mengenangnya, tak apa. Aku pun tak memintamu untuk mengenangnya. Biarlah putih abu-abu mengikisnya dari hidupmu, namun bukan dari hidupku.

Tak lama lagi, janur kuning itu melengkung di teras rumah wanita manis yang kamu kenalkan padaku beberapa waktu lalu. Saat itu, kita duduk berdekatan bersama kawan-kawan kita di acara reuni akbar itu. Kamu memberikan amplop undangan padaku. Kita saling tersenyum menunduk.

Aku tak terlalu memikirkan undangan itu, awalnya. Namun, saran suamiku lah yang akhirnya membuatku berani membukanya. Mendatangkan kembali kisah SMA kita. Secara perlahan, kubalik amplop itu dan kulihat tagname yang kamu berikan padaku. Dan sedikit tersenyum mengenang, aku membalik undangannya dan berharap umur panjangku bisa mengantarkanku ke janur kuningmu :).