Keberhasilan Pemilu sebagai “Simbolisasi” Demokrasi

By Rabu, Oktober 20, 2010

Negara Indonesia merdeka sejak 17 Agustus 1945 silam, merupakan negara berkembang yang menganut sistem Demokrasi Pancasila yang ditentukan oleh pandangan hidup bangsa (weltanscahauung),  falsafah hidup bangsa (filosofiche grondslag),  dan ideologi yang bersangkutan.

Demokrasi yang berdasarkan pada kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan ini  memberi kesan bahwa demokrasi hanya berfokus pada sila ke-4 Pancasila. Padahal perlu diingat dan disadari bahwa kelima sila Pancasila bekedudukan setara, bulat, serta utuh membentuk satu kesatuan. Dalam penerapannya, seringkali pemahaman demokrasi tersebut disalah artikan dengan melakukan kebebasan berpendapat secara anarkis, mengganggu ketertiban umum, bahkan tak jarang mengganggu kepentingan rakyat, sekalipun mereka bilang sedang membela rakyat dan menyuarakan pendapat.

Semenjak lengsernya rezim Orde Baru (Orba) di bawah kepemimpinan Soeharto, demokrasi Indonesia telah mengalami improvement. Hal ini jelas terlihat pada beberapa aspek yang “melenceng” pada masa itu dan kini mulai dibenarkan. Faham kediktatoran orba yang menuai kontovesi antara lain masyarakat dianggap tabu jika membicarakan tentang kekurangan yang terjadi pada tubuh pemerintahan dan pendoktrinan untuk memiliki pandangan yang searah dengan pimpinan. Penggunaan motto “Asal Bapak Senang” menjadi momok menakutkan pada masa itu. Tetapi sekarang, masyarakat diberi kebebasan untuk mengutarakan pendapatnya, bahkan hal ini diatur dalam UUD 1945 pascaamandemen pada pasal 28E ayat (3) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Selain itu, kebebasan berpendapat juga diatur dalam Undang-Undang RI No. 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.

Indonesia yang telah menerapkan demokrasi lebih dari 10 tahun, disebut-sebut  merupakan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Bahkan, sebuah situs internet mengatakan bahwa Indonesia sangat berpotensi menjadi kiblat demokrasi di kawasan Asia. Pandangan semacam itu tentu tidak salah, bila ditinjau dari keberhasilan Indonesia dalam mengadakan pemilihan umum secara berkala. Pada awalnya, pemilu hanya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan dan kemudian berkembang dengan disepakatinya pemilihan presiden dan wapres sebagai bagian dari rezim pemilu, yang semula dilakukan oleh MPR.

Pemilihan umum di Indonesia menganut asas Luber Jurdil yang merupakan singkatan dari “Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil”. Langsung berarti pemilih harus melakukan pemilihan secara langsung dan tidak boleh diwakilkan. Umum berarti setiap orang yang telah memiliki hak suara dapat mengikuti pemilu. Bebas berarti pemilih dibebaskan memilih kandidat berkompeten pilihan mereka tanpa ada paksaan. Rahasia berarti suara para pemilih bersifat rahasia dan hanya diketahui oleh pemilih, ini berarti pemilih mendapat jaminan keselematan atas pilihan mereka. Jujur berarti pemilu harus dilaksanakan sesuai dengan aturan yang berlaku. Sedangkan, Adil berarti tidak adanya pendiskriminasian terhadap para calon pemilih, dengan kata lain, tidak ada fasilitas lebih untuk para pemilih yang berduit.

Pertanyaannya adalah apakah pemilihan umum yang sebenarnya telah berjalan sesuai asas dan fungsinya? Kenyataannya tidak, asas demokrasi yang dianut seringkali diwarnai dengan aksi kecurangan baik dari pihak peserta maupun panitia pemilu. Ini tentu saja membuat miris para pengamat politik di Indonesia dan masyarakat pada umumnya. Selain itu, kesalahan yang dilakukan oleh pihak panitia lebih sering memperparah keadaan tersebut. Kita ambil contoh saja kejadian golongan putih (golput) di Situbondo beberapa waktu yang lalu. Pada pemilihan umum kepala daerah (pilkada) tersebut, terdapat setidaknya 29 persen dari total daftar pemilih tetap (DPT) memilih menjadi golput daripada memilih. Menurut salah satu panitia, penyebab golput tersebut lantaran pemilih belum menerima surat undangan datang ke TPS pada hari pencoblosan dan petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) belum memahami aturan yang ada. Lah, wong, yang ngadakan acaranya, kok, yo, ndak ngerti aturane? Kejadian tersebut adalah contoh “kecil” dari kesalahan panitia.

Kita setidaknya perlu berkaca pada pelaksanaan pemilihan presiden tahun 2009 lalu. Saat itu, suasana pemilihan menjadi riuh karena “banyak” sekali konflik yang terjadi. Mulai dari jutaan pemilih yang tidak masuk DPT, adanya pemilih siluman, dan berantakannya surat suara. Kesalahan tersebut merupakan salah satu penghambat dalam kemajuan budaya demokrasi yang berusaha dibangun oleh Indonesia. Belum lagi adanya dugaan kecurangan dari pihak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang dilakukan oleh panitia untuk memenangkan pilpres kala itu. Antarpihak sempat terlibat perang dingin. Pihak satu merasa difitnah dan yang satu lagi merasa percaya diri dengan kemenangan yang belum ia raih. Pemilu 2009 tahun ini merupakan pemilu terburuk pada masa reformasi yang berjalan dengan baik. Kesalahan kecil “mungkin” bisa dimaafkan, tetapi bila kesalahan tersebut terus berulang? Apa kata dunia? Mau dibawa ke mana demokrasi negeri kita?

Demokrasi yang seharusnya berjalan dengan baik untuk menentukan pemimpin sebagai “otak” penggerak kita, sedikit melenceng dari tujuan semula. Pemilihan umum, mulai dari wakil rakyat hingga Presiden, terkadang masih diwarnai dengan money politics yang berlangsung secara membabi buta atau biasa disebut “serangan fajar”. Seharusnya, sebagai calon wakil rakyat yang berkedudukan dan dianggap memiliki kebijaksanaan tinggi punya kesadaran bahwa demokrasi adalah kebebasan berpendapat tanpa adanya paksaan ataupun iming-iming. Padahal, sudah jelas-jelas disebutkan bahwa asas pemilu adalah Luber Jurdil, lah, kok masih ada aja yang curang. Kalau begini keadaannya, pemilu hanya menjadi simbolis dari sebuah demokrasi tanpa maksud dan tujuan yang jelas. Pasalnya, dengan adanya money politics berarti mereka telah melakukan paksaan secara halus terhadapa para pemilih dan ini berarti tidak adanya kesempatan bagi kandidat yang berasal dari ekonomi menengah. Selain itu, uang juga berjaya sebagai media pengiklanan bagi para kandidat. Bagi yang kaya, banner dan atribut berfoto dirinya dan slogan dapat kita temui dengan mudah di sepanjang jalan. Tapi, bagi yang pas-pasan? Boro-boro bikin baju, bikin banner aja perlu keringat sebagai tumbal keinginan sukses mereka.

Setiap calon peserta pemilu selalu dikaitkkan dengan kondisi finansial mereka dan kedudukan mereka di masyarakat. Kalau keadaannya seperti itu, suara rakyat hanyalah pemuas dahaga bagi jiwa-jiwa yang haus akan kehormatan karena suara mereka dapat dibeli dengan uang. Padahal, tidak semua kandidat tak berduit memiliki kualitas yang rendah. Keinginan mereka (yang tidak berduit) untuk mencalonkan diri biasanya lebih kepada keprihatinan mereka terhadapa nasib rakyat kecil dan untuk alasan yang sudah umum. Memperbaiki mutu hidup.

Ingatkah pada kejadian tentang pendaftaran penyanyi dangdut fenomenal, Julia Perez sebagai cawabup Pacitan? Dengan kepopulerannya, saya rasa, JuPe (singkatan dari Julia Perez) dapat dengan mudah memenangkan pemilu tersebut. Apalagi, penampilannya yang “mendadak” berubah menjadi alim untuk menarik simpati para calon pemilih.

Kenyataan di atas menyebabkan pemilu sebagai pilar demokrasi belum dapat sepenuhnya berjalan dengan baik. Pemilu masih dianggap sebagai ajang pamer kepopuleran, kealiman, dan kekayaan. Bahkan tujuannya sebagai penyalur aspirasi masyarakat terpudarkan oleh tingkah laku calon terpilih. Sebagai contoh adalah Mr. X yang memenangkan pemilu. Pada saat pelaksaan sidang paripurna dengan santainya dia tertidur dan ketika pers menanyakan perihal tidunrnya dia, dengan santai dia pasti akan menjawab, “Kerjaan kami banyak, jadi pantas saja kalau ketika rapat kami mengantuk”. 

Keadaan ini tentu saja menimbulkan keragukan masyarakat karena orang yang mereka pilih untuk menjadi wakil aspirasi mereka memiliki pekerjaan tambahan dalam ruang sidang. Tidur Siang. Apakah ini wajah demokrasi kita?  Atas nama kebebasan tak berbatas menganggap tidur di saat rapat adalah kebebasan. Suatu ironi ketika milyaran bahkan triliyunan dana yang dikeluarkan demi menggelar pemilu sebagai syarat procedural demokrasi namun hasilnya sering jauh dari harapan rakyat dan substansi demokrasi itu sendiri.

Gambaran di atas mungkin hanya sebagian dari fenomena yang terjadi di wajah demokrasi dan pemilu yang berlangsung di Indonesia. Tentunya, masalah demokrasi yang sebenarnya tidak sesederhana di atas. Kemajuan demokrasi di negara kita memang perlu diapresiasi karena berhasil melaksanakan sistem demokrasi yang seiring dengan upaya pembangunan ekonomi. Selain itu, Indonesia sebagai negara dengan penduduk Islam terbanyak dapat berjalan sejajar. Bahkan, kesalahan tersebut hendaknya dapat menjadikan introspeksi bagi masyarakat dan pemerintah sebagai wakil rakyat. Mengingat pentingnya demokrasi bagi kemajuan suatu negara, hendaknya proses demokrasi dijalankan secara seimbang. Maksudnya, pemilik hak tidak hanya menuntut haknya, namun juga melaksanakan kewajibannya. Bila tidak seimbang, demokrasi yang seharusnya menjadi anugerah akan terus menjadi malapetaka.

Semestinya, perkembangan demokrasi juga bisa disandingkan dengan kesuksesan pembangunan. Hal tersebut bisa terjadi bila demokrasi dapat mencegah korupsi baik korupsi materi dan korupsi waktu yang sering dilakukan oleh wakil rakyat secara sengaja ataupun “tidak sengaja”. Selain itu, pemahaman tentang demokrasi sebagai sarana kebebasan berpendapat haruslah ditinjau ulang. Demokrasi adalah pemberian kebebasan kepada warga negara dengan tetap memperhatikan kepentingan bersama. Demokrasi diharapkan dapat menjadi langkah tepat untuk menampung aspirasi masyarakat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi guna peningkatan dalam berbagai bidang di Indonesia.

Pihak-pihak yang terlibat langsung dengan sistem pemerintahan, haruslah wakil terpilih yang memiliki kemampuan dan pandangan luas tentang negara Indonesia sehingga tidak ada lagi pihak yang mengandalkan materi sebagai suap untuk menjadikan mereka sebagai pemimpin. Pemilihan umum dapat dilaksanakan dengan sistem Nglakokno lan Ngamatno, melakukan dan mengamati.

Semua kandidat harus diseleksi terlebih dahulu. Pengadaan seleksi dapat dilaksanakan baik secara tes tertulis maupun dengan terjun langsung ke lapangan. Semacam tes praktek yang selalu dihadapi oleh pelajar untuk menentukan kelayakan mereka. Tes yang dilakukan oleh para kandidat haruslah melebihi sehari-dua hari.

Bayangkan saja, dengan adanya tes langsung di lapangan, para calon pemilih akan memiliki pandangan tentang kandidat yang berkompeten sebagai pemimpin mereka. Sistem yang dilakukan adalah sistem gugur, maksudnya kandidat yang tidak memenuhi uji kelayakan otomatis gugur dan tidak berhak mencalonkan diri dalam peridoe tersebut. Inilah yang disebut dengan nglakokno atau melakukan. Kandidat tidak hanya perang mulut dan penyampaian janji yang terkadang sering diingkari. Kandidat haruslah dapat membuktikan tekad mereka untuk menjadi pimpinan yang bijaksana dan bukanlah tong kosong nyaring bunyinya.

Bahkan, kalau perlu, KPU (Komisi Pemilihan Umum) menugaskan anggotanya sebagai pengamat dalam tes praktek itu. Pengamatan bisa dilakukan secara terbuka dan tertutup. Pengamatan terbuka dilakukan secara formalitas dan kandidat yang sedang “ujian” mengetahui kedatangan KPU. Tugas anggota KPU di sini adalah melakukan wawancara kepada masyarakat tentang adanya indikasi sistem money politics dan cara kerja para kandidat. Sedangkan, pengamatan tertutup dapat dilakukan dengan penyamaran dan dilakukan dengan sistem supit udang. Menyerang tanpa sepengetahuan para kandidat. Di sini, anggota KPU yang bertugas akan melakukan penyamaran menjadi warga masyarakat sekitar yang merasakan dan mengamati langsung kinerja kandidat. Pemilihan anggota KPU yang bertugas haruslah dapat dipercaya dan bersih dari kecurangan. Inilah yang disebut dengan ngamatno atau mengamati. Selain itu, pengamatan juga harus dilakukan jauh-jauh hari sebelum hari H pencoblosan untuk meng-handle jalannya persiapan pemilu, mulai dari kertas suara, orasi kandidat, serta tempat penyelenggaraan.

Diberlakukannya sistem Nglakokno lan Ngamatno dapat menjadi terobosan baru dalam pelaksanaan pemilu setidaknya dapat meminimalkan kecurangan panitia dan peserta, kekurangan kertas suara, DPT ganda, bahkan orasi kandidat dapat dikontrol sehingga berjalan tertib. Rasa-rasanya kita akan menghadapi upaya “menjaring angin” alias sia-sia jika upaya penegakan demokrasi dalam pemilu tidak benar-benar kita tegakkan. Barangkali, memang itulah kemauan dari negara kita. Yakni, menjadikan pemilu hanyalah sebagai simbolisasi dan ajang memamerkan kepopularitasan –tanpa kemampuan– para kandidat.

You Might Also Like

0 Comments

Terimakasih atas kunjungan dan segala apresiasinya. Silakan tinggalkan pesan di kolom komentar jika memang ada yang perlu didiskusikan ^ ^

Jika memerlukan informasi urgent, boleh sapa saya di email karena saya cukup aktif pula di sana :).

Disclaimer

Blog ini tidak merepresentasikan instansi tempat dimana penulis mengabdi, karena mayoritas konten adalah hasil kolaborasi dengan manusia-manusia baik hati :). Penulis tidak bertanggungjawab jika terdapat tulisan mengatasnamakan penulis (alias copas) di luar blog ini dan ini.
Blogger Perempuan